Kasus Lapas Suka Miskin, Agun Gunandjar: Kemenkumhan Perlu Membuat Kebijakan Baru


B-CHANNEL, BOGOR – Komisi XI DPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa menyikapi betul kasus yang terjadi di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Suka Miskin Bandung, dimana kasus tersebut telah mencoreng nama baik Kementrian Hukum dan Ham, atas kejadian Kepala Lapas yang tertangkap  tangan akibat kasus suap oleh Lembaga Rasuah atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini.

Menurut Agun, jika selama manajemen pemasyarakatan tidak patuh terhadap kaidah keilmuan, yaitu pada teori dan prinsip pengorganisasian atas urusan-urusan pemerintahan di lingkungan Kementrian Hukum dan Ham maka selama itu pula permasalahan akan terjadi. Bahkan tak menutup kemungkinan bisa jadi akan disusul dengan kejadian-kejadian berikutnya yang lebih heboh lagi.

“Permasalahan di Lapas tersebut harus ada pendekatan secara legal dan faktual dari posisi dan fungsinya yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana terpadu. Dimana, secara teoritis nara pidana adalah manusia biasa yang juga memiliki kebutuhan seperti  diungkapkan Maslow. Penjara adalah miniaturnya Negara, baik buruknya kondisi kehidupan masyarakat suatu negara dapat dilihat dan tercermin adanya di penjara,”ungkap Agun yang juga sebagai anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham, Minggu (28/07/18).

Dijelaskannya, saat ini yang perlu dilakukan yaitu adanya upaya penanganan secara konprenhensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terhadap segala bentuk permasalahan di lapas, baik itu dari sistem peradilan pidananya, peran pemerintah, masyarakat hingga keluarganya.

Mengingat, doktrin-doktrin pemidanaan seperti pendekatan retributif, detterence (penjeraan),  rehabilitasi dan resosialisasi dinilai kurang tepat, karena di berbagai negara lain doktrin seperti ini gagal di diterapkan.

“Jadi, doktrin seperti itu sudah harus digantikan oleh doktrin re-integrasi sosial, sebab tujuannya untuk pemulihan kembali kesatuan hubungan “Hidup-Penghidupan-Kehidupan” antar napi dengan keluarga dan masyarakat, tanpa menghilangkan aspek derita maupun hukumannya, atau dalam perkembangan  hukum dikenal dengan “Restorative Juctice”, “terangnya.

Ia menambahkan, pemahaman tentang doktrin dan tujuan pemidanaan, posisi serta fungsi pemasyarakatan dalam sistem peradilan Pidana Terpadu harus dipahami secara benar baik yang bersifat formal maupun informal. Termasuk pemahaman tentang kehidupan dan kesakitan-kesakitan dalam pemenjaraan seperti yang  diakibatkan oleh pola hubungan interaksi antar sesama napi, sesama pegawai dan pegawai.

“Nah, semua ini membutuhkan manajemen penjara yang tepat, mulai dari unit tertinggi seperti Ditjen Pemasyarakatan hingga UPT nya yakni lapas dan rutan yang secara hirarkis harus tergambarkan tepat dalam perencanaan hingga pengawasan dalam struktur organisasi berjenjang yang memadai, “tuturnya.

Soal yang terjadi di Lapas Suka Miskin, slanjutnya, Menteri Hukum dan HAM perlu membuat kebijakan baru guna memberi ketegasan tentang boleh tidaknya diijinkan atas sejumlah benda, barang mewah, sarana dan prasarana yang ada dan beredar dalam lapas, misalnya HP, Laptop, AC, Dispenser, Toilet, Kamar, Saung dan lain sebagainya. Pasalnya, hal demikian dimaksudkan agar ada jaminan kepastian hukum yang dibutuhkan bagi petugas dilapangan dalam menegakan aturan.

Disamping itu, berikan juga kewenangan penuh kepada Dirjen Pemasyarakatan dalam tata kelola SDM pemasyarakatan tanpa merubah pola organisasi yang ada.

“Jadi melalui penempatan lapas kelas I maupun lapas khusus dari yang semula dibawah Kakanwil dipindahkan menjadi unit yang berada dibawah, sehingga bertanggung jawab langsung kepada Menteri Direktur Jenderal Pemasyarakatan,” tutup Agun.

 

Reporter: Agus Sudrajat/foto: Istimewa

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *