BOGORCHANNEL.ID– Menjelang Hari Santri Nasional, televisi kembali menayangkan potret “kyai dan santri” dengan segala dramanya, bukan dalam makna perjuangan, tapi dalam bingkai sensasi. Tayangan Xpose Uncensored di Trans7 beberapa waktu lalu yang menampilkan Pondok Pesantren Lirboyo, konon katanya ingin “mengungkap fakta”. Tapi faktanya, yang terbuka justru tabir etika media yang semakin robek.
Lucunya, menjelang Hari Santri, semua orang berlomba bersorban dan bersarung di layar kaca, tapi lupa bahwa kehormatan santri bukanlah properti tontonan. Mereka bicara tentang nilai keislaman dan kesederhanaan pesantren, tapi lupa bahwa kamera tanpa adab bisa lebih tajam dari pisau yang menusuk rasa hormat.
Permohonan maaf memang sudah disampaikan. Tapi maaf yang lahir karena tekanan publik tentu berbeda dengan maaf yang tumbuh atas dasar kesadaran moral. Apalagi jika yang dilanggar bukan sekedar norma penyiaran, melainkan marwah pesantren, lembaga yang selama berabad-abad menjadi benteng moral bangsa.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Pers No. 40 Tahun 1999, kebebasan pers tidak bersifat absolut. Media wajib menjamin kebenaran informasi dan menghormati nilai-nilai agama serta kesusilaan masyarakat. Maka, ketika pesantren dijadikan bahan eksploitasi visual tanpa empati, di situlah kebebasan kehilangan arah dan etika kehilangan pijakan.
Menjelang Hari Santri Nasional 2025, ironi itu terasa kian pekat. Di satu sisi, negara dan media ramai menyiarkan pujian terhadap kontribusi santri. Di sisi lain, pesantren seperti Lirboyo justru harus menghadapi perlakuan tak etis atas nama “keterbukaan informasi”.
Seolah santri hanya pantas diangkat saat hari besar tiba, dan dilupakan begitu saja ketika haknya diinjak oleh narasi sensasional.
Padahal, UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dengan jelas menyatakan bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap kemandirian pesantren, termasuk dalam menjalankan fungsi dakwah dan pendidikan. Tapi jaminan itu tak berarti apa-apa bila marwah pesantren bisa dilecehkan di layar nasional tanpa tindakan tegas.
Senada dengan yang dikatakan oleh Rois ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar, “Kalau negara ingin kuat, kuatkan pesantrennya.” Tapi bagaimana bisa kuat, jika pesantrennya terus disudutkan dalam pemberitaan yang menyesatkan?
Apakah negara hanya akan hadir di upacara Hari Santri saja, tanpa keberanian menegakkan keadilan bagi lembaga yang selama ini menjadi penjaga akhlak umat?
Menjelang Hari Santri, mari kita jujur menatap cermin, penghormatan terhadap santri tidak diukur dari jumlah spanduk dan panggung, tapi dari sejauh mana negara dan media menjaga martabat pesantren. Karena pesantren bukan bahan tayangan, tetapi sumber keteladanan.
Jika Hari Santri adalah momentum untuk menghormati perjuangan, maka hormatilah pula nilai-nilai yang dijaga oleh pesantren. Jangan biarkan lensa kamera lebih berkuasa daripada nurani. Sebab tanpa pesantren, bangsa ini kehilangan arah moralnya. Tanpa santri, negara kehilangan cermin kejujurannya. (*)
Oleh: Ahmad Royani -Koordinator Aliansi Santri Salafy Bogor ( Al-Sasab)



