BOGORCHANNEL.ID– Ikhtiar Pemerintah Kota (Pemkot) menurunkan angka stunting sudah terlihat. Hal ini berkat kolaborasi 12 organisasi perangkat daerah (OPD) dan inovasi Tim Percepatan Penanggulangan Stunting (TPPS) Kota Bogor. Tercatat, hingga Agustus 2023 angka stunting di Kota Bogor turun 0,66 persen atau sekira 451 orang.
Kota Bogor menjadi tempat untuk meluncurkan Gerakan Zero Stunting Indonesia 2030 pada Kamis (2/11) lalu. Launching tersebut menjadi bagian acara pembukaan Rakernas II Pemberdayaan Perempuan UMKM Indonesia (PP UMI). Rakernas berlangsung selama tiga hari di IPB International Convention Center (IICC).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengapresiasi Kota Bogor dalam penanganan stunting.
“Ketika bicara stunting adalah masalah yang sangat kompleks. Butuh komitmen dan kolaborasi hingga di akar rumput dari berbagai stakeholder dengan bergerak bersama menangani stunting,” ujar Bintang Puspayoga.
Stunting tidak hanya terkait gizi, tetapi juga pola asuh dan sanitasi menjadi bagian yang sangat penting dan harus diperhatikan.
Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, Sri Nowo Retno mengatakan data bulan penimbangan balita pada Bulan Agustus 2023 menunjukkan penurunan pada angka stunting di Kota Bogor yang awalnya sebanyak 3,25 persen kini menjadi 2,59 persen atau 1.849 balita.
“Setahun ini TPPS melibatkan semua stakeholder intens bergerak lewat aksi konvergensi di sektor kesehatan dan di luar kesehatan. Di sektor kesehatan kami tangani di semua siklus hidup, seperti ibu hamil, melahirkan, penanganan pada balita, anak usia sekolah dan remaja,” ujar Sri Nowo pada kegiatan Publikasi Stunting sebagai aksi konvergensi ke-7 dan Pembentukan Jejaring untuk Promosi Kesehatan di Paseban Sri Baduga, Balai Kota Bogor, Jumat (27/10) yang lalu.
Menurut dia, salah satu upaya yang gencar dilakukan ialah Program Aparatur Sipil Negara Peduli Stunting dengan Telur (ASN Penting Lur). Dalam program ini seluruh ASN menyumbangkan telur sebanyak 1,5 kilogram per bulan untuk penyandang stunting sehingga setiap hari mereka akan mendapat 2 butir telur selama 6 bulan.
TPPS juga menggalang dana CSR dengan komunitas dan pihak swasta untuk memberikan bantuan pada balita stunting dan rawan stunting. Di samping itu, penanganan di luar sektor kesehatan juga dilakukan salah satunya yakni pengentasan perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS).
Sedangkan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah menyebut, selain pada kasus stunting Pemkot Bogor juga berupaya memperhatikan 20 ribu balita risiko stunting dengan sejumlah perawatan.
Tak sendirian, Pemkot Bogor juga mendapat bantuan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk keluarga risiko stunting berupa bantuan telur, ayam dan sembako.
“Komunitas dan swasta juga memberikan bantuan seperti susu dan obat blackmores. Karena stunting telah menjadi prioritas juga dari pemerintah pusat. Kami coba selesaikan dulu yang stunting karena waktunya hanya 2 tahun. Jika terlewat perkembangan otaknya akan terhambat,” terang Syarifah.
Sementara itu, Katimker Pembina Pelayanan Gizi Dinkes Kota Bogor, Deasy Triwahyuni menegaskan dalam penanganan stunting di Kota Bogor ini secara menyeluruh melibatkan 12 OPD di Kota Bogor. Begitu juga dengan polanya, baik pencegahan maupun penanggulangannya, mulai dari remaja putri usia SMP, SMA hingga pra nikah, pasca nikah, ibu hamil, bayi lahir, balita.
“Pada remaja putri dari usia 13 tahun atau SMP hingga pra hingga pasca nikah kami berikan tablet tambah darah. Bahkan kami melakukan intervensi saat ibu hamil dengan mengecek apakah masuk kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak,†kata Deasy.
Bila ibu hamil tersebut, mengalami KEK dengan ciri lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm, maka tim Dinkes di Posyandu memberikan tablet tambah darah.
Begitu juga saat saat bayi lahir, Dinkes terus memantau perkembangan bayi dengan program inisiasi menyusui dini (IMD), agar ibu melahirkan segera memberikan asi efektif selama enam bulan. Bila bayi tersebut Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan prematur, diare pada balita dan pneumonia pada balita, pihaknya melakukan intervensi dengan pemberian makanan tambahan (PMT).
Faktor risiko lingkungan juga masih ada yaitu masih kurangnya sanitasi dasar. Saat ini di Kota Bogor baru ada dua Kelurahan yang ODF (Open Defecation Free) atau Bebas BAB sembarangan. Kompleksnya permasalahan stunting dan perlu banyaknya stakeholder yang terkait dalam intervensi spesifik dan sensitif, memerlukan penanganan yang dilakukan secara terkoordinir dan terpadu kepada sasaran prioritas, tidak hanya oleh sektor kesehatan namun juga perlu intervensi dari sektor lainnya.
Dirinya optimis, karena program penanganan stunting ini tak hanya Dinkes saja, tapi ada 12 OPD, diantaranya Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yang membangun infrastruktur kesehatan yakni pembangunan jamban komunal, Dinas Pendidikan yang mengintervensi pemberian tablet tambah darah setiap seminggu sekali bagi remaja putri, Dinas Sosial, Kemenag, Disdukcapil, Dinas Lingkungan Hidup, BKAD, DP3A, Dinas Dalduk KB, Dinas Perumahan dan Permukiman, Diskominfo, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas KUMKM, DKPP, Bagian Pemerintahan Setda, Bagian Kesra Daerah, Camat se-Kota Bogor, Media, Akademisi (Unpad dan UI) dan Corporate Social Responsibilities (CSR) dari pihak swasta.
“Sebenarnya di Kota Bogor pencegahan stunting ini sejak 2017 silam dengan program tanggap Leungitkeun Stunting (Taleus) Bogor, sedangkan fokus penanganan stunting ini pada 2021,’’papar Deasy. ***